Skip to main content

Surabaya – Peneleh, Makam Belanda (BI)

09 juni 2011

Hindia Belanda, yang pada saat ini disebut negara Indonesia, adalah salah satu negara koloni Belanda selama hampir 350 tahun. Sejak awal abad ke-17 mulai dibentuk pos perdagangan di lokasi strategis sepanjang pantai pulau-pulau Hindia-Belanda. Pembentukan pos perdagangan tersebut bukan berarti selalu tanpa perjuangan sehingga banyak orang yang mati baik dari pihak Belanda maupun orang pribumi. Selain itu, juga banyak orang Belanda yang mati karena sebab penyakit dan kesengsaraan. Pada saat pemukiman Hindia Belanda pertama didirikan, sering kali orang yang mati juga dikuburkan di tempat pemukiman tersebut. Begitu juga yang terjadi di Surabaya (juga dikenal sebagai Soerabaja), yang dikuasai oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda, VOC, sejak 1743.

Pada tahun 1293 kota Surabaya didirikan oleh Raden Wijaya. Nama itu berasal dari hiu Sura (Soera) dan buaya Baya (Baja). Menurut cerita legenda, binatang tersebut berkelahi di sungai Kali Mas. Di tempat perkelahian itulah, yang sekarang adalah kota Surabaya. Mitos ini tentang asal-usul kota yang menunjukkan bahwa air mempunyai peranan yang besar. Sebagian besar dari kota ini adalah dataran rendah yang kemudian seiring berjalannya waktu menjadi dataran di atas pemukaan laut. Bagaimana pun, muara adalah tempat yang sangat penting bagi penguasa. Dengan masuknya islam pada tahun 1525, merupakan permulaan zaman kejayaan. Pada tahun 1625 dinasti Mataram dari Jawa Tengah menaklukan Surabaya.

Sementara itu, kedatangan orang Eropa pertama hanya berpengaruh sedikit terhadap Surabaya. Namun, pada tahun 1617 VOC mendirikan sebuah pos perdagangan di kota ini. Setelah VOC mengambil alih kekuasaan Surabaya sekitar tahun 1743, Surabaya menjadi pelabuhan penting dan kota angkatan laut. Di Surabaya VOC memperdagangkan komoditi terutama gula, kopi dan teh. Sehingga banyak orang Belanda dan orang Eropa menetap di kota. Pada saat itu didirikan sebuah gereja protestan yang terdapat makam di luar dan didalam gereja tersebut. Dengan pertumbuhan Surabaya maka dibutuhkan lebih banyak areal pemakaman untuk orang Eropa. Areal makam disediakan sekitar tahun 1793.

Makam pertama

Pada 25 Januari 1793 pemimpin gereja Protestan Surabaya mengumumkan bahwa pemakaman di sekitar gereja tidak diperbolehkan lagi, karena sudah penuh. Tentu saja, sebelum makam benar-benar penuh. Bagaimana pun juga, pemakaman baru harus pindah ke lokasi di sisi sebelah barat kota. Tempat ini telah dibuat, letaknya di luar kota, yang disebut ‘makam di luar kota’ (buitenkerkhof). Lokasi ini bernama Krembangan, terletak di selatan jalan Heerenstraat, yang menghubungkan Surabaya dengan Batavia (Jakarta).

Bagaimana bentuk pemakaman tidak diketahui. Barangkali tidak begitu besar. Tetapi, cukup untuk ribuan orang Eropa selama beberapa dekade. Sekitar tahun 1830-1835, pemakaman di Krembangan penuh sesak. Pada tahun 1835 dewan pengurus gereja memohon kepada Residen Surabaya [1] untuk menyediakan sebidang tanah untuk makam baru. Dia menunjuk sebuah lokasi dengan jarak 3 “paal” (4,5 km) dari kota, yang menuhi syarat pembangunan sebuah pemakaman. Kemudian, dewan pengurus gereja mengajukan kepada pemerintah Hindia-Belanda [2] untuk membuat sebuah lokasi yang cocok dan bertembok. Ternyata, resident tidak menyetujui dengan usulan tersebut, kemudian setelah dua tahun dewan pengurus gereja mengajukan kembali usulan tersebut. Tetapi waktu itu, dewan pengurus gereja memberitahukan bahwa gereja akan membiayai 2000 gulden untuk membuat pemakaman baru dengan meminta bantuan Resident untuk meminjam kekurangan dana dari Kas Negara tanpa biaya. Akhirnya Resident tertarik dengan proposal tersebut dan dia meminta anggaran total biaya. Dengan usulan yang konkret Resident bisa mengajukan proposal tersebut ke pemerintah Hindia-Belanda. Dengan kabar baik itu ketua pengurus gereja mulai mematangkan rencana. Bersama insinyur Tromp ketua dewan gereja mulai mengukur lokasi untuk membuat anggaran biaya. Ternyata jarak antara lokasi yang diusulkan dan kota terlalu jauh. Akhirnya, proposal ini dibatalkan dan untuk memakamkan seseorang sementara harus puas dengan tempat pemakaman yang lama.

Sebuah situasi yang tidak bisa dipertahankan, ternyata ada solusi

Pada 1839 penggali kubur Krembangan melaporkan kalau situasi tidak bisa dipertahankan lagi. Perluasan di sekitar pemakaman juga tidak bisa, karena tanah rawa. Dicoba sekali lagi untuk mendapat tanah di luar kota dan di luar garis pertahanan kota (defensielijn). Sekali lagi solusi yang ditunggu juga lama. Pada tanggal 26 Februari 1846 pemerintah Hindia-Belanda menyediakan sejumlah 10,000 gulden untuk membuat sebuah makam di Kampong Peneleh [3]. Kampong tersebut terletak di sebelah selatan kota, tidak jauh dari Kali Mas. Dalam pengawasan insinyur Geil untuk segera memulai mempersiapkan lahan. Yang penting dalam hal ini adalah meninggikan lahan. Selain itu, diharuskan membuat saluran air dan jalan setapak. Pada bulan Agustus tahun 1847 tempat pemakaman sudah selesai dan pada tanggal 1 Desember dibuka secara resmi. Selama keluarga memiliki kamar di bawah tanah untuk pemakaman (grafkelder), mereka boleh menguburkan keluarga di sana. Selama tahun 1847 tidak diketahui apakah orang yang mati dikuburkan di Peneleh, tetapi pada tahun 1948 lebih dari sekitar 100 orang mati telah dimakamkan di daerah itu.

Tidak lama setelah pemakaman Peneleh dibuka, specialis Hinda-Belanda dan reformis dr. W.R. van Hoëvell (1812-1879) saat melakukan perjalanan di Jawa mengunjungi pemakaman Krembangan. Pendapatnya tidak terlalu positif. Menurut Van Hoëvell monumen makam yang terlalu padat adalah “karakteristik sindiran tentang kecongkaan seseorang, yang memamerkan perbedaan kedudukan sosial dengan makam bermonumen megah dan berornamen”. Barangkali Van Hoëvell mendapat kesan negatif terhadap pemakaman tersebut, tetapi para peneliti makam ini adalah sumber daya fantastis. Baik dari data silsilah orang yang mati maupun budaya pemakaman, tetapi sayang makam hilang (ditulis lebih lanjut).

Pengunaan makam Peneleh

Peneleh adalah sebuah pemakaman Eropa dimana Protestan, Katolik, Yahudi serta Kristen pribumi dan Cina dikuburkan. Setiap agama tidak disendirikan sehingga hal ini menunjukan bentuk karakter umum makam ini. Bebagai bangsa dimakamkan tercampur, pengunjung tidak hanya melihat teks bahasa Belanda, tetapi juga menemukan teks bahasa Jerman dan Inggris.

Di Peneleh terdapat dua jenis kuburan, yaitu makam kelder (ruang makam di bawah tanah) dan makam biasa. Makam biasa adalah makam yang disewa untuk waktu tertentu. Mungkin makam ini telah digunakan berkali-kali, hal ini diketahui dari cara penomeran makam.

Sisa makam lama yang telah dibersikan, dibawa ke rumah tulang (knekelhuis) yang juga dibangun di pemakaman Peneleh. Keberadaan rumah tulang seperti itu sering ditemukan di pemakaman di negeri Belanda sebelum tahun 1830. Setelah tahun 1830, di Belanda sisa tulang tidak lagi dikumpulkan di knekelhuis, tetapi dikumpulkan di sebuah lubang khusus untuk sisa-sisa tulang yang ditemukan (knekelput). Di Peneleh sangat berbeda. Pemerintah daerah membuat bangunan besar dengan gaya bangunan candi Yunani klasik yang memiliki ruang bawa tanah (kelder) yang besar. Pada dasar lantai bangunan tersebut memiliki dua lubang besar untuk mengumpulkan sisa tulang.

Bangunan yang mencolok terdapat di pintu gerbang masuk. Pintu gerbang masuk besar dibangun tepat di ujung jalan makam, yaitu jalan ‘Kerkhoflaan’. Bangunan ini juga dibangun di gaya klasik dengan gapura bundar dan tinggi.

Luas pemakaman Peneleh hampir 4,5 hektar. Kemungkinan tidak seluruh pemakaman telah digunakan sekaligus, tetapi makam dimulai di tengah-tengah. Tentu saja ada hubungan dengan makam Resident Pietermaat (1790-1848) yang setelah meninggal mendapat tempat yang menonjol di kuburan. Mulai dari sekitar monumen makam ini, dibuat beberapa dua lajur garis makam-makam lain yang bejajar rapi. Jalan setapak di antara makam-makam ini kurang nyaman untuk jalan kaki, tetapi adalah murni fungsional. Dengan bentuk ini, penggali kubur bisa memasuki sebuah peti mati dalam kelder melalui lubang depan. Menurut cerita tidak ada pohon-pohon di area pemakaman, sehingga pemakaman terasa sangat panas dan serasa tidak mengundang orang untuk mengunjungi kuburan.

Untuk menyalurkan kelebihan air pada saat musim hujan deras, digali parit khusus. Parit tersebut mengalirkan air lewat sisi selatan pemakaman. Pada beberapa peta kuno bisa mudah dilihat bahwa pemakaman ini dibuat di daerah rawa, yang tiga sisinya dikelilingi oleh sungai. Di salah satu peta menunjukan ada sebuah parit atau sesuatu yang mirip parit di sekeliling pemakaman, sementara itu di peta lain sama sekali tidak ada. Di peta yang lebih lama belum ada bangunan di sekitar pemakaman, tetapi pada saat Perang Dunia Pertama pemakaman hampir tertutup oleh kampong. Pada saat itu, jumlah penduduk Eropa di Surabaya bertambah banyak. Pada tahun 1857 kota ini memiliki sekitar 7.500 orang Eropa dan orang yang memiliki tingkat sosial yang sama (seringkali orang Cina beragama Kristen atau orang pribumi yang menikah dengan orang Eropa), pada tahun 1920 jumlahnya sudah mencapai 18.000 orang.

Pemerintah Surabaya pada saat itu tidak menunggu pertumbuhan penduduk Eropa lebih banyak, karena itu pada tahun 1915 telah dibuat area pemakaman baru. Diperkirakan dalam jangka pendek area Peneleh tidak cukup untuk menampung pemakaman lagi. Pada waktu itu, sekitar 13.000 orang telah dikuburkan di Peneleh. Di tahun 1915 dikuburkan hampir 200 orang.

Lahan untuk pemakaman baru ditemukan sekitar 3,5 km dari Peneleh, dekat Kembang Kuning. Lahan terletak di barat daya dari kota di daerah tanah bergelombang sekitar 15 m di atas permukaan laut. Karena itu, lahan dengan cepat disiapkan untuk area pemakaman. Area tersebut telah digunakan pada tahun 1916.

Pada tahun 1925 pemakaman tua di Krembangan akhirnya dibersihkan dan dirubah menjadi taman. Sekarang lokasi aslinya kurang bisa diketahui. Yang tersisa adalah beberapa makam yang dialihkan ke pemakaman Kembang Kuning. Tidak jelas apakah hanya batu nisan atau semuanya dipindahkan. Batu nisan tersebut digabungkan di sebuah lempeng kotak makam. Di Kembang Kuning juga ditemukan batu-batu lain yang jelas lebih tua dan mungkin berasal dari pemakaman lain yang lebih tua. Di samping itu dengan perjalanan waktu juga dipindahkan monumen makam dari Peneleh.

Dua alasan penutupan Peneleh

Sekitar setelah tujuh puluh tahun pemakaman Peneleh menjadi terlalu kecil. Pada Oktober 1916 hanya pemakaman biasa terakhir (ke-10,141) yang bisa diberikan. Kuburan itu terletak paling belakang di pemakaman. Seperti di pemakaman tua di Krembangan, tetap bisa dimakamkan jenazah di makam keluarga selama ada tempat. Di antara tahun 1916 dan 1964 (di 1964 diketahui pemakaman terakhir di Peneleh), masih ada beberapa ribuan orang dimakamkan, terutama di kuburan keluarga mereka sendiri yang masih tersedia. Juga masih ada banyak berubahan yang terjadi.

Setelah Surabaya jatuh ke tangan Jepang pada tahun 1942, mereka menguasai kota selama tiga tahun lebih. Penduduk Eropa disekap. Sebagian besar laki-laki dipaksa bekerja untuk Jepang. Pada saat perang waktu itu daftar pemakaman di Peneleh jumlahnya orang berkurang. Berarti, pemakaman itu jauh lebih sedikit digunakan. Banyak orang yang disekap sampai mati dalam kurungan dan dikuburkan di tempat lain.

Dengan menyerahnya Jepang pada Agustus 1945, situasi di Indonesia dalam keadaan yang simpang-siur dan membingungkan. Pemerintah kolonial tidak langsung kembali, karena banyak orang Belanda tetap dalam sekapan. Kebanyakan menyebar di wilayah yang diduduki oleh tentara Jepang, dan Belanda sama sekali tidak memiliki tentara untuk mengambil kembali kekuasaan di Indonesia. Pasukan Inggris, yang seharusnya melucuti senjata pasukan Jepang yang ada di Hindia-Belanda diterima sebagai lawan, oleh karena itu mengalami perlawanan dan pertempuran sengit di Surabaya. Insiden bendera di Hotel Oranje (sekarang Hotel Majapahit) pada September 1945 dan terbunuhnya jenderal Inggris Mallaby pada akhir Oktober 1945 adalah beberapa klimaks dalam pertempuran tersebut. Itulah tanda pertempuran sengit untuk melepaskan negara Indonesia dari penjajah Belanda. Nasionalis Indonesia banyak mendapatkan senjata, yang telah ditinggalkan oleh Jepang. Meskipun kaum nasionalis tersebut menyerahkan kota Surabaya setelah pertempuran berdarah, pada akhirnya merekapun mendapatkan kembali kota Surabaya. Pada awal tahun 1946, pasukan Inggris telah diganti oleh kontingen Belanda yang segera memulai pemulihan situasi seperti sebelum perang. Dengan hati hati dimulai membangun kembali sebagian kota yang hancur. Perbaikan tersebut baru selesai setelah penyerahan kedaulatan pada Desember 1949.

[Pada 17 Agustus 1945, satu minggu setelah penyerahan Jepang, Soekarno dan Hatta memproklamasikan Republik Indonesia di Batavia. Pada waktu itu, situasi di Surabaya tidak stabil. Ketika perwakilan Belanda menaikan bendera di atap Hotel Oranje, menimbulkan tindakan resistensi pada 19 September. Kaum pemuda menyerbu hotel tersebut dan merobek warna biru dari bendera Belanda. Oleh sebab itu bendera Indonesia berwarna merah-putih. Hal itu diikuti keadaan yang tidak aman (disebut periode Persiapan Kemerdekaan), dan hal ini meningkatkan eskalasi pada waktu pasukan Inggris menduduki kota Surabaya pada Oktober 1945. Kaum nasionalis Indonesia menolak untuk menyerahkan senjata kepada pasukan Inggris, sehingga terjadi pertempuran berdarah dan kota Surabaya dibombardir. Akhirnya, kaum nasionalis harus menyerahkan kota Surabaya. Bagaimanapun, kaum nasionalis terus berjuang sehingga terjadi agresi militer Belanda di Indonesia pada tahun 1947 sampai dengan 1949. Melalui operasi militer, Belanda berusaha mendapatkan kembali Republik Indonesia yang telah diproklamasikan di Java dan Sumatra. Agresi militer Belanda berakhir setelah Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia pada Desember 1949.]

Pada saat itu kebanyakan orang Eropa telah kembali ke Surabaya dan juga memulai menggunakan kembali tempat pemakaman. Hal ini berarti bahwa di Peneleh tempat makam keluarga yang masih kosong akan digunakan kembali dan di Kembang Kuning bisa digunakan untuk tempat makam baru. Register diisi seperti biasa. Pada waktu penyerahan kedaulatan telah merubah banyak hal dengan cepat. Pemakaman tetap secara resmi di tangan pemerintah kota Surabaya, tetapi aturannya berubah. Jumlah pemakaman di Peneleh turun drastis setelah tahun 1949. Hal ini terutama disebabkan oleh fakta bahwa banyak keluarga Hindia-Belanda kembali ke negara asalnya. Pada tahun 1955 pemerintah kota Surabaya menghentikan pengelolahan pemakaman Peneleh. Kotamadya berkonsentrasi pada pemakaman yang masih digunakan, yaitu seperti Kembang Kuning. Sebenarnya, Peneleh telah ditutup untuk kedua kalinya. Penguburan terakhir terjadi pada tahun 1964.

Kemunduran Peneleh

Mulai tahun enam puluhan abad ke-20, pemakaman Peneleh kurang lebih telah kehilangan segala haknya. Kadang-kadang sebuah makam dibuka untuk dipindahkan ke Kembang Kuning, selain itu hanya merupakan alam bebas. Pada akhirnya, bukan hanya alam yang merubah keadaan makam saat ini. Kerusakan telah banyak terjadi. Dengan sengaja membuat lubang besar di makam untuk jalan masuk. Kemungkinan untuk mencuri isi, kotak dan hadiah yang diikutkan dalam pemakaman dan jasad. Setelah itu, lubang-lubang diisi dengan sampah, batu merah dipakai untuk membangun dinding rumah-rumah kecil di sekitar pemakaman. Mungkin juga batu nisan digunakan untuk pengerasan jalan, walaupun tidak bisa ditemukan tulisan nisan tersebut di kampong sekitar pemakaman pada tahun 2011.

Dengan tumbuhnya tanaman yang sangat lebat dan rapat, serta pohon-pohon tumbuh liar membuat rindang sebagian areal pemakaman. Sebelumnya tidak ada pohon di pemakaman, hal ini berarti cukup banyak berubah. Perubahan lain yang terjadi pada waktu itu, adalah pembongkaran dinding pintu gerbang. Pagar pintu gerbang tetap masih ada, tetapi bangunan dinding pintu gerbang yang megah telah hilang. Batas pemakaman telah mengalami perubahan, yaitu adanya dinding beton di sekitar makam. Juga bisa dilihat dinding batu-bata yang bisa ditemukan di sana-sini. Di sisi utara makam juga telah terpasang pagar baru.

Jalan jalan di sekitar pemakaman

Peneleh memiliki peta denah persegi panjang, yang tidak begitu jelas apakah pemakaman ini semula sudah sebesar itu atau telah ada perluasan pada saat itu. Bukti menunjukan bahwa terdapat areal makam A dan B yang kemungkinan merupakan perluasan atau digunakan sesaat kemudian. Situasi pada tahun 1918 tercatat dalam peta. Di peta tersebut tercatat sebelas areal pemakaman (A s/d K) dengan ukuran sekitar 4,5 ha. Hampir semua kotak tersebut berbentuk persegi panjang dengan arah utara-selatan, sedangkan makam berarah timur-barat. Di bagian depan dekat pintu gerbang terdapat monument makam yang banyak dihias dibanding di areal lain. Jika Anda berjalan lewat semua areal pemakaman, sesuai urutan abjad, akan menemukan hal seperti berikut.

Pintu masuk adalah titik awal logis untuk memulai berjalan-jalan di Peneleh. Pintu masuk terletak sedikit tidak biasa, hal ini bisa dilihat dari fakta bahwa pintu masuk merupakan kepanjangan dari Kerkhoflaan (Jl. Makam Peneleh). Di pintu masuk terletak rumah pengawas. Tentunya, dia mengawasi pekerjaan, administrasi dan pengunjung pemakaman. Saat ini, bangunan tersebut digunakan sebagai pusat POSYANDU yang ramai. Pintu gerbang dulu yang menggambarkan status, sekarang tidak terlihat lagi karena banyaknya bangunan yang menghalangi pintu gerbang. Kemungkinan pagar besi cor dan berat masih asli. Dari pintu masuk Anda bisa melihat lebar pemakaman. Sebenarnya makam ini tidak memiliki pandangan utama. Jalan dari pintu masuk mengarah ke jalan lebar yang terletak di tengah makam dan mengarah ke knekelhuis. Jalan lainnya adalah jalan lebih sempit yang dibuat secara fungsional. Semua jalan dibuat sampai ke areal belakang pemakaman yang disebut jalan pemakaman.

Blok A terletak di sudut sebelah kanan pintu masuk. Yaitu sebidang tanah yang panjang dengan sebelas baris kamar di bawah tanah untuk memakamkan orang yang hampir semua terisi. Di sisi utara terletak beberapa kamar kubur di bawah tanah yang menyimpang, salah satunya adalah makam Gubernur Jenderal Pieter Merkus (1787-1844). Di atas makamnya terdapat batu nisan dari lempeng kuningan yang besar dengan teks dan di sekitar makam terpasang pagar besi cor dan berat. Jika kita berkeliling di sisi samping pemakaman, terlihat rumah-rumah kecil yang didirikan atas kamar di bawah tanah untuk memakamkan orang. Hewan seperti kambing, bebek dan ayam banyak ditemukan.

Jalan yang agak besar dan lebar berfungsi untuk membuka kamar kubur di bawah tanah dan meletakan peti mati. Kamar di bawah tanah untuk memakamkan orang berbentuk seperti lengkungan pada langit-langitnya, keempat sisinya dan lantai terbuat dari batu-bata dengan kedalaman dua meter. Di dalamnya memiliki lapisan semen agar supaya tahan terhadap air. Di atas permukaan tanah ruang makam ini dibuatkan lapisan semen setebal 30-40 cm. Kemudian dipasang sebuah monumen di bagian atas lapisan semen tersebut. Kebanyakan makam dengan bentuk ini tidak dipasang sebuah monumen di atasnya.

Sebuah makam yang terdapat monumen biasanya dibuat dari batu bata yang difinishing dengan semen atau diplester yang kemudian dicat putih. Tulisan nisan, pada umumnya persegi panjang, terbuat dari batu alam. Kadang-kadang hanya terpasang sebuah konsol kecil (dari batu-bata) di atas makam dengan tulisan nisan persegi yang diletakkan pada sisinya. Banyak makam yang memiliki penutup untuk melindungi monument di bawahnya. Biasanya dipilih penutup besi yang terdiri dari empat pilar besi pada pojok-pojok makam dan atap miring yang ditutup dengan seng. Kebanyakan bagian depan dan belakang dihias dengan indah. Juga ada penutup atap dari beton yang dibuat dari batu buatan atau batu-batu yang dihaluskan, yang didukung hanya di satu sisi. Kebanyakan penutup yang dibikin dari batu buatan atau beton sering dibentuk dengan desain modern, bisnis style atau kadang-kadang dengan unsur-unsur Art Deco.

Tipe-tipe monumen makam seperti itu bisa ditemui di seluruh areal pemakaman Peneleh, tetapi di antara itu juga bisa dilihat obelisk dari granit atau monumen dari batu alam lainnya, seperti nisan dari batu keras. Di sana pandangan mata lebih tertuju pada kerusakan yang terjadi. Atap penutup makam dari besi hampir seluruhnya berkarat dan di semua monumen ada yang kurang. Puing-puing bangunan dan sampah menutupi jalan-jalan, terutama di tepi pemakaman. Di situ juga terdapat kandang burung-burung, untuk memasak, tempat bermain dan tempat tinggal. Atap penutup makam bisa dipakai untuk perlindungan terhadap sinar matahari.

Tanpa sadar orang akan berjalan dari bagian A ke bagian B. Bagian B berlanjut sampai akhir pemakaman. Di bagian ini juga terdapat sebelas baris kamar kubur di bawah tanah. Perbedaannya adalah bagian B ditemui baris-baris makam yang tidak berdekatan dan lebih banyak makam kosong. Di sisi selatan tidak ada kamar kubur di bawah tanah, tetapi ada makam biasa. Namun, seluruh daerah makam biasa sudah tidak ada lagi, karena hampir semua monumen makam dihilangkan untuk lapangan sepak bola. Semakin ke belakang, kondisi monument makam semakin buruk. Pada pojok areal makam belakang banyak ditemukan tumpukan puing-puing bangunan. Banyak monumen makam yang rusak karena dibonkar pada sisi depannya, sehingga ruang kubur terlihat. Banyak atap penutup yang runtuh dan beberapa monumen makam yang tertutupi oleh puing-puing bangunan. Di bagian B terdapat sebuah monumen besar dengan kubah tinggi yang mencolok. Namun, monumen tersebut sangat diabaikan. Di bagian ini hampir tidak ada pohon dan terdapat banyak monumen makam rusak, karena itu bagian ini jarang digunakan untuk aktivitas sosial, kecuali di lapangan sepak bola.

Di sebelah bagian B adalah D, bagian ini relatif kecil dibanding bagian sekitarnya dan banyak makam biasa. Pada bagian yang bersebelahan dengan F, terdapat satu baris kamar makam di bawah tanah. Pandangan pada bagian D relatif terbuka, karena kebanyakan monumen makam yang rendah. Di sepanjang tepi makam bagian D kebanyakan digunakan untuk berbagai aktivitas, di antaranya adalah aktivitas orang yang mengambil barang bekas di sampah dan membuang sampah. Kegiatan orang-orang itu bisa dilihat terutama di bawah pepohonan. Daerah yang rindang paling disukai untuk kegiatan semacam ini.

Apabila berjalan kembali ke arah pintu masuk dari bagian D, tanpa sadar kita akan menemukan bagian C. Bagian C berbentuk kotak sangat panjang dan separuhnya telah tumbuh banyak pepohonan. Sebagian dari bagian ini terdapat kamar kubur di bawah tanah, dan bagian yang lain terdapat makam biasa. Banyak kamar kubur di bawah tanah yang dibuat menyusul pada saat itu. Hal ini jelas terlihat karena beberapa makam terletak bertentangan arah dan campur dengan beberapa makam biasa. Selain itu, tempat untuk berjalan membingungkan. Hal tersebut menunjukan bahwa bagian ini mengalami perubahan. Kemungkinan pada saat itu lebih banyak permintaan kamar kubur bawah tanah daripada makam biasa, mungkin juga terkait dengan lokasinya. Makam biasa sering meniru dari monumen yang terpasang di kamar kubur di bawah tanah, tetapi bentuknya lebih kecil dan sederhana. Sebuah makam biasa biasanya telah diberikan pondasi dasar batu bata di atasnya. Kemudian, monumen dipasang di atas pondasi tersebut. Seringkali monumen berbentuk meja kecil miring sederhana yang digunakan untuk tulisan nisan. Kadang-kadang meja tersebut lebih dihias atau memiliki pagar besi di sekitarnya.

Bila kita melihat kembali dari bagian C ke bagian D, melewati pepohonan, akan terlihat sebuah gambar yang indah yaitu sebuah pemakaman terbuka dengan pohon-pohon sebagai latar belakangnya. Anda juga bisa melihat jalan setapak di pemakaman yang dipakai orang kampong untuk melintasi pemakaman. Jalan setapak mudah dikenali dan sering digunakan untuk berjalan. Di antara bagian A, B dan bagian C, D terdapat selokan air. Selokan ini banyak tertimbun bila ke arah pintu masuk, tetapi jika ke arah masuk pemakaman Anda bisa melihat bahwa selokan tersebut terbuat dari batu alam. Di antara bagian A dan C di atas selokan terdapat sebuah jembatan. Jembatan ini sangat berguna untuk gerobak dan tentu saja agar kaki tidak basah.

Kembali di pintu masuk kita akan mendapati bagian E. Bagian ini terletak langsung di sebelah kanan jalan mulai dari pintu masuk. Di bagian ini akan ditemukan makam-makam yang paling menarik dari areal pemakaman ini, antara lain adalah monumen besi cor P.J.B. de Perez (1803-1859), wakil presiden dari dewan Hindia-Belanda [4] dan monumen besar untuk Residen D.F.W. Pietermaat (1790-1848). Di bagian ini juga terdapat makam yang cukup berbeda, yaitu makam Ursulin Sisters. Seluruh bagian E terdiri dari kamar kubur di bawah tanah yang semua terletak saling membelakangi di samping jalan. Di jalan setapak yang pertama pada bagian E, pemandangan tertutup oleh monumen Perez dan jalan setapak yang di tengah tertutup oleh monumen Pietermaat. Sehingga makam-makam tersebut tepat pada pandangan di bagian tersebut, hal ini menunjukan lokasi ini dipilih dengan sengaja untuk mengunkapkan status orang yang dimakamkan.

Karena bagian E sedikit lebih lama, sehingga kita bisa melihat kamar kubur di bawah tanah dengan monumen makam yang sedikit berbeda daripada bagian A dan B. Terdapat lebih banyak bangunan besar di atasnya yang memiliki kaki tiang dengan sendi batu yang berat ditutupi dengan atap berbentuk piramida. Atap ini menjorok keluar sehingga batu sendi tetap kering pada saat hujan. Kebanyakan penutup ini ditopang oleh pilar batu-bata yang di dalamnya terdapat besi. Batu sendi dari bangunan klasik di atas makam-makam tersebut sering terdapat tulisan nisan. Lubang-lubang di batu sendi menunjukan adanya lubang monumen (“graftrommel”). Tulisan nisan sering mengunakan marmer, tetapi juga terdapat jenis batu alam lokal. Selain monumen buatan lokal, juga ada monumen granit, marmer dan batu keras yang diimpor dari Eropa. Juga terdapat batu nisan yang mirip dipakai di Belanda pada abad ke-19. Pada bagian ini yang perlu diperhatikan adalah monumen besi cor. Monumen tersebut masih dalam kondisi cukup baik, yang menakjubkan monumen ini terletak di antara monumen-monumen lain yang telah dirusak.

Bagian F tepat bersebelahan bagian E. Bagian F sampai batas belakang pemakaman. Pada bagian F tipe monumen makam di kamar kubur di bawah tanah, terlihat seperti tipe yang digambarkan di bagian E. Di bagian F terdapat beberapa monumen besar di atas beberapa makam, sehingga monumen terlihat besar. Selain itu di bagian ini juga terdapat beberapa tipe monumen.

Juga bisa temukan beberapa penggunaan bahan lain, seperti nisan marmer atau batu keras, atau patung salib Kristus yang terbuat dari batu keras. Yang mencolok adalah barisan kamar kubur di bawah tanah semakin jauh ke belakang, semakin besar kerusakannya. Seperti di bagian lain, kamar kubur di bawah tanah banyak terdapat lubang besar di sisi depannya yang diisi dengan sampah sehingga bagian dalamnya tidak bisa terlihat. Banyak kerusakan terjadi karena tumbuhnya akar-akar pepohonan di sekitar kamar kubur di bawah tanah. Akar pepohonan tersebut seperti memeluk seluruh kamar kubur di bawah tanah sehingga merusak monumen-monumen sampai hampir hilang. Pada akhir bagian F adalah kampong yang dipisahkan oleh dinding. Pada dinding itu terdapat lubang-lubang pintu untuk masuk ke makam. Orang kampong bisa masuk ke makam dengan cepat, sebagai jalan pintas, tetapi pintu ini juga nyaman untuk aktivitas dan tugas-tugas kecil yang tidak bisa dilakukan di kampong karena terlalu sempit.

Sebelah bagian F adalah bagian J yang terletak di pojok pemakaman. Bagian tersebut tidak terlalu besar dan didominasi oleh sebuah rumah dengan berbagai kegiatan sekitarnya. Di situ terdapat beberapa kandang-kandang hewan, gudang-gudang kecil dan satu kamar mandi. Keseluruhan rumah tersebut memiliki luas puluhan meter persegi. Beberapa pohon ditanam supaya teduh dan beberapa bagian dari monumen dimanfaatkan, terutama batu nisan. Tidak mengherankan banyak monumen-monumen yang rusak. Di pojok halaman permukaan tanah agak miring naik ke tepi. Di sini terdapat tumpukan besar dari puing-puing, yang mungkin berasal dari pembersihan sebelumnya atau sampah bangunan dari kampong sebelah. Sepanjang tepi, yang berbatas bagian K, seharusnya ada sebuah parit yang tidak terlihat karena tertutup banyak puing-puing. Sisa-sisa parit akan terlihat pada saat mengarah ke bagian I.

Seiring berjalannya waktu banyak monumen-monumen yang hilang pada bagian I. Pada awalnya, bagian ini terdapat makam biasa yang seperti hampir tidak terganggu. Tidak ada pohon di bagian I, tetapi di sisi bagian utara - pandangan mengarah ke knekelhuis – yang didominasi oleh pepohonan. Makam-makam yang terletak di sini, menunjukan monumen-monumen khas, yaitu apakah sebuah makam memiliki atau tidak atap besi di atasnya. Sebuah area dengan ukuran 10 kali 30 meter yang tidak memiliki pepohonan. Sebelumya, sebagian dari daerah ini adalah jalan setapak yang memisahkan bagian F dan I, dan sebagian adalah beberapa garis kuburan. Bagian ini digunakan sebagai tempat bermain sehingga rumput hilang. Dari sini juga tempat bermain layang-layang dan sepak bola.

Sepanjang tepi bagian K adalah dua garis makam di bawah tanah dengan sebuah jalan di antaranya. Bagian K terbentang sepanjang tepi pemakaman yang terdapat makam-makam di bawah tanah. Makam-makam di bawah tanah tersebut kebanyakan dibuat pada awal abad ke-20. Pada sisi pemakaman ini, juga terdapat banyak sampah yang dibuang ke pemakaman. Popok, kantong sampah, limbah dan barang-barang lain, sampah ini terdapat di antara makam-makam atau di makam di bawah tanah yang telah rusak. Keadaan monumen-monumen makam banyak yang rusak, kecuali beberapa makam.

Jika berjalan ke arah knekelhuis, melalui jalan lebar, anda akan sampai di bagian H. Knekelhuis tersebut merupakan titik fokus di bagian H dan I. Seperti monumen-monumen makam, knekelhuis juga dalam keadaan buruk. Knekelhuis tersebut bergaya kuil Yunani, ruang utama teletak di antara kolom-kolom penyangga yang memiliki portal terbuka pada bagian depan dan belakang. Di dalam ruang utama terdapat pintu masuk yang merupakan akses ke ruang yang terdapat dua lubang terbuka di lantai. Dua lubang tersebut adalah lubang untuk tulang tulang asli. Dulu lubang ini ditutupi dengan tutup yang cocok, tetapi sekarang lubang tersebut dipakai untuk pembuangan limbah. Pintu masuk belakang yang berbentuk lengkung telah runtuh dan dinding-dinding terlihat usang. Walaupun memiliki keadaan yang buruk, knekelhuis masih tetap sebuah bangunan mencolok.

Di bagian H sebagian adalah makam di bawah tanah dan sebagian adalah makam biasa. Mungkin di sini makam di bawah tanah juga merupakan makam-makam susulan. Hal ini disimpulkan dari fakta karena makam tersebut terletak di tengah jalan. Di tengah dari bagian H cukup terbuka, sedangkan di sebelah utara dan selatan terdapat pepohonan. Struktur makam kurang teratur sehingga bagian H tidak memiliki sudut pandang yang jelas karena tanaman kurang membentuk kesatuan dan di pojok timur laut banyak aktivitas rumah tangga. Bagian ini banyak yang diabaikan dan kondisi monumen banyak yang rusak. Banyak atap besi telah runtuh. Pandangan ini memberikan kesan dramatis dan kacau.

Bila kita kembali ke dekat pintu masuk, masih terdapat satu bagian yang tersisa. Bagian G adalah bagian yang memiliki bentuk paling berbeda. Bagian ini melintang terhadap arah bagian bagian lain , tetapi arah makam tetap sama. Di dekat pintu masuk sepanjang jalan yang dulu bernama Kerkhoflaan terdapat ruang makam di bawah tanah, tetapi di tengah adalah makam makam biasa. Bagian ini dimulai tepat di belakang rumah pengurus makam dan terbentang hampir sampai sisi timur pemakaman. ada dua baris makam di bawah tanah di bagian K yang terletak di antara batas makam sisi timur dan bagian G. Banyak makam kubur di bawah tanah memiliki atap besi yang di antaranya masih terpelihara dan memiliki bentuk detail. Karena di tempat banyak pohon, monumen merupakan tempat ideal untuk istirahat siang bagi warga kampong sekitar.

Di bagian ini, bagian G, agama Katolik lebih mencolok yang ditunjukan dalam bentuk salib, ukiran kristus dan lain-lain. Di bagian ini juga terdapat monumen untuk pastor Van der Elzen (1822-1866) yang terlihat mencolok di ujung poros dari pintu masuk. Banyak monumen makam di sini yang rusak atau sebagian hilang. Di sudut di sebelah kiri pintu masuk sebagian dipisahkan oleh pagar. Dibalik pagar hidup sebuah keluarga. Di sekitar monumen makam tersebut digunakan untuk mandi, sebagian untuk duduk dan beristirahat. Sepanjang jalan ada pagar baru dan selokan tepat di belakangnya.

Bagaimana nasib Peneleh?

Pada tahun 1998 pemerintah kota Surabaya menganggap pemakaman sebagai monumen sejarah yang penting. Permasalahan di sini adalah pemerintah kota tidak memiliki anggaran untuk pemeliharaan pemakaman. Beberapa tahun terakhir sejumlah orang dipekerjakan untuk melakukan pemeliharaan. Terutama melakukan pembersihan daun-daun di areal yang tumbuh pepohonan. Karena iklim di sini tidak memiliki musim gugur, daun-daun bisa jatuh sepanjang tahun. Orang yang bekerja selalu membakar tumpukan-tumpukan daun di situ.

Tetapi pemeliharaan yang minim tidak bisa membuat kondisi lebih baik. Monumen-monumen makam tidak terpelihara.

Namun pemerintah Surabaya menyadari bahwa Peneleh adalah warisan budaya. Oleh karena itu pada Oktober 2011 diselengarakan workshop yang juga bekerja sama dengan Kementerian Warisan Budaya Belanda dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Selama lima hari mahasiswa jurusan arsitektur, pegawai pemerintah kota dan beberapa ahli dari Belanda melakukan eksplorasi kemungkinan-kemungkinan untuk makam Peneleh. Hasilnya adalah tingginya keinginan yang kuat dari kampong sekitar untuk dijadikan perluasan pasar, areal rekreasi, maupun aktivitas lainnya. Selain itu, pemakaman bisa digunakan untuk jalan pintas ke daerah lain. Dalam workshop ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran jelas dan penilaian tentang makam Peneleh, tetapi juga bertujuan untuk mendapatkan design tata ruang. Hasil dari workshop telah dipresentasikan pada bulan Desember 2011.

Salah satu rekomendasi dari hasil workshop tersebut adalah mendirikan sebuah yayasan yang sebagian didanai oleh Belanda untuk melestarikan Peneleh. Kalau rekomendasi tersebut dilakukan, sebuah organisasi kecil harus didirikan untuk mengelola pemakaman dan melakukan beberapa perbaikan monumen makam. Tetapi sebelum hal itu dilakukan hal tersebut akan memakan banyak waktu. 

 

 

Vanuit het Nederlands vertaald door Martine Barwegen met steun van de Rijksdienst voor het Cultureel Erfgoed (RCE).

 

Literatur:

  • Faber, G.H. Von; Oud Soerabaia. De geschiedenis van Indië’s eerste koopstad van de oudste tijden tot de instelling van den gemeenteraad (1906), Surabaya 1931
  • Bok, L.A.H.; Karakteristiek Peneleh - Makam Belanda – Surabaya, ditulis untuk Design Development Workshop Kampung & Graveyard Peneleh, 2011.

 

Sumber:

  • DVD Indisch Genealogische Vereniging (IGV), toegang tot bronnen voor genealogisch onderzoek met betrekking tot Indonesië. Uitgave 2, 2010.
  • Design Development Workshop Kampung & Graveyard Peneleh, Surabaya, 27 oktober – 2 november 2011.

 

 

Internet:

 

Seorang warga berada di pejabat Timur mantan Pemerintah Hindia Belanda yang adalah kepala pemerintahan daerah. Di bawah dia adalah warga lagi asisten. Hal ini disebut Dewan bahwa di Hindia Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal, termasuk warga berdiri. Kampung (sekarang kampung di ejaan resmi) adalah kata Melayu yang berarti halaman berpagar atau kumpulan sifat yang terlihat melalui pagar milik bersama, sidang diselenggarakan kota (kabupaten), atau sebuah desa kecil. The Peneleh kampung membentang kemudian hanya sepanjang Kali Mas. Dewan Hindia adalah dari 1609-1942 organ pusat pemerintahan kolonial Belanda, pemerintah di bawah Gubernur Jenderal. Para anggota Dewan Pengawas dari India juga disebutkan. Dewan ini didirikan sebagai perguruan tinggi bahwa Gubernur Jenderal harus mengungkapkan. Selain itu, Dewan memiliki peran monitoring dan memberikan nasihat Gubernur Jenderal pada pengangkatan pejabat, tetapi juga menteri dan urusan ekonomi dan keuangan.

 

Notes

  1. Di zaman Hindia-Belanda seorang residen adalah seorang kepala pemerintah daerah. Assistent-resident membantu kepala pemerintah daerah.
  2. Dengan ini menunjukan pemerintah Hindia-Belanda dipimpin oleh seorang Gubernur-Jenderal, yang dibantu oleh resident-resident.
  3. Kampung adalah kata bahasa Malay yang berarti sebuah halaman yang berpagar atau sebuah kumpulan tempat tinggal yang pagarnya milik bersama, sebuah daerah perkotaan atau sebuah desa kecil. Waktu itu, kampong Peneleh terletak sepanjang sungai Kali Mas
  4. Pada tahun 1609 sampai 1942 dewan Hindia-Belanda adalah sebuah organisasi pusat dari pemerintah Hindia-Belanda, sebuah pemerintah dibawa Gubernur-Jenderal. Anggota Dewan Hindia-Belanda juga disebut Dewan Hindia-Belanda. Dewan Hindia-Belanda dibentuk untuk memberikan nasehat kepada Gubernur-Jenderal. Selain itu Dewan Hindia-Belanda memiliki fungsi kontrol dan memberikan nasehat tentang calon pegawai pemerintah, tetapi juga tentang calon pelayan gereja dan tentang urusan ekonomi dan keuangan.

 

 

 

 

Aangepast: 03 oktober 2019

Nieuw op de website